bahasa

Statement initiated by Working People Association (Indonesia) and Network of Progressive Youth Burma

[If your organisation would like to sign, please email:international@prp-indonesia.org.]

September 16, 2010 -- We, the undersigned organisations, strongly condemn the military junta of Burma for its new decree to curb workers’ right to form trade unions and its harsh punishments against any industrial action.

The military junta of Burma -- the State Peace and Development Council (SPDC) -- decreed a new regulation on August 20, 2010, at a meeting in Rangoon attended by industry employers, government ministers and Burmese military officials, including Lt-Gen Myint Swe of the ministry of defence. It stated that, whoever launches or participates in industrial protests demanding better rights or conditions will be fired and blacklisted. The reason for the decree, labour activists in Burma believe, is that the junta wants to prevent further industrial action and employers don’t want their workers taking action to demand better wages, so now they can fire those who protest and stop them from getting jobs elsewhere.

Image removed.

Rabu, 8 September 2010

Oleh Peter Boyle

Berdikari Online -- Pada 4 September lalu, sekitar 20.000 pendukung Kaos Merah berkumpul dalam sebuah konser di Pattaya, kota pariwisata Thailand yang terletak di tepi laut. Mobilisasi ini salah satu yang terbesar sejak militer dengan berdarah membubarkan perkemahan protes mereka di Bangkok pada 19 Mei 2010, menewaskan 91 orang dan melukai ribuan lainnya.

Pemimpin Kaos Merah dan Anggota Parlemen dari Partai Puea Thai, Jatuporn Prompan, menyerukan kepada rakyat untuk meletakkan mawar merah di depan seluruh penjara di negeri itu pada 17 September nanti. Ratusan pimpinan dan aktivis Kaos Merah masih ditahan. Pada 18-19 September, akan digelar aksi-aksi massa di penjuru negeri dan di luar negeri untuk menandai empat bulan sejak pembantaian berdarah.

“Hari ini adalah awal kampanye kita untuk membuka pintu penjara dan membebaskan saudara-saudara Kaos Merah kita”, seru Jutaporn dalam konser tersebut.

Oleh Duroyan Fertl

5 Juli 2010 -- Berdikari -- Piala Dunia FIFA 2010 di Afrika Selatan telah memulai putaran final 16 besarnya pada 26 Juni. Ia hadir di tengah dengungan terompet vuvuzela yang tak pernah surut, kekalahan tim-tim besar seperti Italia dan Perancis, dan aksi-aksi protes di jalanan oleh warga setempat yang marah atas dana 40 miliar rand yang dibelanjakan pemerintah untuk membiayai acara yang dikelola swasta ini. Sementara itu, kaum miskin Afrika Selatan menderita karena perumahan dan akses layanan mendasar yang di bawah standar.

Sepakbola adalah “permainan dunia” yang dimainkan oleh jutaan orang di seluruh dunia dan ditonton oleh ratusan juta lainnya. Tapi benarkah itu “permainan rakyat”?

Sepakbola itu sendiri seringkali merupakan suatu pertunjukan menegangkan yang menampilkan kepiawaian manusia. Suatu pertandingan sepakbola yang bermutu tinggi dapat dibandingkan dengan seni. Maka tak heran ia begitu populer di seluruh dunia.

Image removed.

Oleh: Data Brainanta

8 Juli 2010 -- Berdikari -- Aktivis partai Aliansi Sosialis (Socialist Alliance – SA) di Australia menolak rencana PM Julia Gillard untuk membangun pusat pemrosesan suaka regional di Timor Leste.

Kandidat SA dari Perth, Alex Bainbridge, menggambarkan bahwa rencana menampung pencari suaka Australia di Timor Leste bukan didasarkan atas belas kasihan dan keadilan, sebagaimana dikatakan oleh PM tersebut, melainkan untuk mendorong pemenjaraan lebih banyak lagi.

“Kebijakan yang sesungguhnya kita butuhkan adalah yang berdasarkan belas kasihan dan rasa keadilan – yakni menempatkan mereka di tengah-tengah komunitas [masyarakat] Australia,” kata Bainbridge.

“Fakta sederhananya, pemenjaraan adalah pemenjaraan – apakah pemenjaraan itu di Pulau Christmas atau Leonora, Timor Leste atau Nauru,” tambahnya.

Di seluruh dunia kelas buruh mengorganisasikan dirinya. Kami berorganisasi untuk menuntut upah yang layak untuk hidup. Untuk kesehatan dan keselamatan di tempat kerja. Untuk kompensasi dan rehabilitasi. Untuk hak buruh migran dan pengungsi, Untuk hak kewarganegaraan bagi buruh migran dan keluarganya. Untuk hak bekerja berdasarkan prinsip kesetaraan. Kelas buruh berorganisasi melawan deportasi, menentang rasisme, menolak diskriminasi. Kelas buruh berorganisasi menentang perang yang membawa bencana bagi jutaan kelas buruh.

April 10, 2010 -- News footage of Thailand's security forces opening fire on Red Shirt pro-democracy protesters.

By Socialist Party of Malaysia (PSM), Working People's Association (PRP) of Indonesia, People’s Democratic Party (PRD) of Indonesia, Turn Left Thailand, Partido Lakas ng Masa (PLM) of the Philippines, Socialist Alliance of Australia, Solidarity (Australia)

April 10, 2010 -- We are deeply concerned over the current situation in Thailand where military-backed Prime Minister Ahbisit Vejjajiva has declared a state of emergency and started a bloody crackdown amidst escalating protests calling for a fresh election.

Image removed.

Statement by the Working Peoples Association (Indonesia), People's Democratic Party (Indonesia), Socialist Alliance (Australia), Socialist Worker (New Zealand), Partido Lakas ng Masa (Philippines), Solidarity (Australia), Labour Party Pakistan, Socialist Alternative (Australia), Socialist Party of Malaysia and the Confederation Congress of Indonesia Union Alliance. Supported by James Petras

[If your organisation would like to add their names to the statement, please email international@prp-indonesia.org.]

March 8, 2010 -- We, the undersigned progressive, anti-war, anti-neoliberalism and anti-imperialist organisations in the Asia-Pacific region, call for a wave protests to meet US President Barack Obama's planned visits to Guam, Indonesia and Australia in March 2010.

[To add your organisation's support, email: Ign Mahendra K at international@prp-indonesia.org.]

January 27, 2010 -- On January 12, 2010, a 7.3 Richter scale earthquake struck Port-au-Prince, the capital of Haiti. The earthquake caused great destruction and 200,000 people are thought to be dead. Further, 3 million Haitians have been rendered homeless by the quake, which also damaged many public service buildings, such as hospitals and schools.

The quake has caused Haitians, who have struggled under decades of poverty and imperialist intervention and exploitation, even deeper suffering. Approximately 75% of Haitians earned less than US$2 per day and 56% of Haitians – around 4.5 million people – earned less than $1 per day. Most Haitians live in houses made of adobe and mud.