Burma: Asian left parties condemn attacks on workers' rights

Statement initiated by Working People Association (Indonesia) and Network of Progressive Youth Burma

[If your organisation would like to sign, please email:international@prp-indonesia.org.]

September 16, 2010 -- We, the undersigned organisations, strongly condemn the military junta of Burma for its new decree to curb workers’ right to form trade unions and its harsh punishments against any industrial action.

The military junta of Burma -- the State Peace and Development Council (SPDC) -- decreed a new regulation on August 20, 2010, at a meeting in Rangoon attended by industry employers, government ministers and Burmese military officials, including Lt-Gen Myint Swe of the ministry of defence. It stated that, whoever launches or participates in industrial protests demanding better rights or conditions will be fired and blacklisted. The reason for the decree, labour activists in Burma believe, is that the junta wants to prevent further industrial action and employers don’t want their workers taking action to demand better wages, so now they can fire those who protest and stop them from getting jobs elsewhere.

In March, workers at industries such as Shwe Pyi Thar, Taung Dagon and Hlaing Thayar launched protests demanding that employers give them time off during public holidays and increase their salaries and payments for working overtime. An industrial worker in Burma earns about 20,000 kyat to 40,000 kyat (US$20-40) monthly. Many have to work overtime to augment their insufficient income.

Historically, labour movements have played a major role in the Burma people’s struggles against colonialism and fascist military dictatorships. Burma has experienced two major uprisings in its history in which the workers played the leading role, together with students and the general public. These were the “1300 [Burmese calendar] anti-colonial uprising” and the student-led “8888″ pro-democracy demonstrations. The 1300 anti-colonial uprising took place from 1938 to 1939 and was kindled by a labour strike staged by workers from the Chauk petroleum refinery, owned by British Oil Company (BOC). The “1300 uprising” awakened strong patriotic and nationalist sentiments throughout the whole country and paved the way for a countrywide anti-colonial independence movement.

Following the military coup in 1962 led by General Ne Win, democracy, human rights and freedom to form independent labour unions was effectively suppressed; education, health and other socioeconomic determinants deteriorated significantly as well. Under General Ne Win’s Revolutionary Council, and later the Burma Socialist Program Party, workers in faced various forms of oppression and exploitation, including low pay, poor living conditions and lack of personal security.

In June 1974, railway workers in Burma staged a strike that later culminated in a nationwide workers’ strike. The strike bought all government administration and the operation of public works to a virtual standstill. The workers demanded higher salaries, lowering of basic commodity prices, freedom to form an independent labour union, and some fringe benefits for their families. The government rejected their demands, and the workers’ strike was effectively crushed. Many workers were gunned down inside the factories and on the streets; others were arrested and sentenced to long-term imprisonment, fired from their jobs, transferred to other towns and cities, or were forced into early retirement.

During the 1988 nationwide demonstrations, many government workers joined the students in in the streets of Rangoon and other cities to call for democracy and human rights. The demonstrations quickly gained momentum and ultimately became the largest uprising in the history of modern Burma.

The one-party system government of General Ne Win faced a serious political crisis and, again, government administration came to a virtual standstill as a general strike took hold. During the demonstrations, a myriad independent organisations, including labour unions, emerged throughout the country. Following the September 18, 1988, military coup, however, all independent organisations and unions were banned. Many of the workers who participated in the demonstrations were given long prison sentences, were dismissed from their jobs or transferred to other locations, or were forced into early retirement.

Despite the several attempts made by labour rights activists and lawyers to register independent labour unions, the regime has always turned down the applications. On June 23, 2010, the Burmese regime again rejected an application to form a “Burma National Labor Union”. In the absence of independent labour unions and other channels, such as a free press, to express their grievances, workers in Burma remain exploited by both foreign and local factory owners and they have no means to demand the absence of all workers’ rights, adequate pay, proper working conditions and personal security.

Therefore, we the undersigned organisations and political parties declare our solidarity with the struggle of Burma's working class, and hereby demand that:

1. The new regulation to prevent the labour rights be abolished.

2. Any form of repression of workers by factory owners or government agencies be rejected.

3. Full democratic rights for workers, including the right to organise, build independent trade unions and to form political parties.

We declare our full support to the people of Burma to build a democratic Burma, because only a democratic Burma can prosperity and justice be achieved.

Workers of the world unite!

[This statement is initiated by Working People Association (Indonesia) and Network of Progressive Youth Burma. If your organisation would like to sign, please email international@prp-indonesia.org.]

Signed by

Working People Association, Indonesia

Network of Progressive Youth Burma

Confederation Congress of Indonesia Union Alliance

All Nepal Federation of Trade Unions

Socialist Party of Malaysia

Socialist Alliance, Australia

Socialist Alternative, Australia

MAP Foundation, Thailand

Partido ng Manggagawa (Labor Party, Philippines)

* * *

Kami, organisasi-organisasi di bawah ini, mengutuk tindakan  junta militer Burma yang telah mengeluarkan keputusan baru untuk mengekang hak para buruh untuk membentuk serikat buruh dan menindas dengan keras segala tindakan aksi industrial kelas buruh.

Junta militer Burma, Dewan Perdamaian dan Pembangunan Negara (SPDC), menetapkan peraturan baru pada 20 Agustus 2010 di sebuah pertemuan di Rangoon yang dihadiri oleh para pengusaha industri, menteri-menteri pemerintah dan pejabat militer Burma, termasuk Letjen Myint Swe dari Departemen Pertahanan; yang menyatakan bahwa, yang memulai atau berpartisipasi dalam kegiatan protes menuntut hak atau kondisi yang lebih baik akan dipecat dan di blacklist. Alasan keputusan tersebut, sebagaimana diyakini oleh aktivis buruh di Burma, adalah bahwa junta ingin mencegah aksi industri lebih lanjut dan majikan juga tidak ingin buruh mereka meminta lebih banyak uang, sehingga sekarang mereka bisa memecat para buruh yang melakukan protes dan mencegah mereka mendapatkan pekerjaan di tempat lain. Karena pada bulan Maret, buruh pada industri-industri seperti Shwe Pyi Thar, Taung Dagon dan Hlaing Thayar melakukan protes untuk menuntut majikan memberikan cuti selama hari libur dan meningkatkan gaji dan pembayaran untuk jam kerja lembur mereka. Seorang pekerja industri di Burma memperoleh sekitar 20.000 Kyat hingga 40.000 Kyat (US $ 20-40) per bulan. Banyak dari mereka harus bekerja lembur untuk meningkatkan pendapatan mereka yang tidak mencukupi.

Secara historis, gerakan buruh telah memainkan peran utama dalam perjuangan melawan kolonialisme Burma dan kediktatoran militer fasis. Burma telah mengalami dua pemberontakan besar dalam sejarahnya di mana buruh memainkan peran utama bersama dengan mahasiswa dan rakyat: "Pemberontakan anti kolonial yag bernama 1300 (Era Burma)” dan pemberontakan yang dimpin oleh mahasiswa bernama demonstrasi pro demokrasi "8888". Pemberontakan anti-kolonial 1300 berlangsung pada tahun 1938-1939 dan dipicu oleh pemogokan buruh yang terjadi di kilang minyak Chauk yang dimiliki oleh British Oil Company (BOC). Pemberontakan "1300" membangkitkan sentimen nasionalis dan patriotik yang kuat serta membuka jalan bagi gerakan kemerdekaan anti-kolonial di seluruh negeri.

Setelah kudeta militer pada tahun 1962 dipimpin oleh Jenderal Ne Win, demokrasi, hak asasi manusia dan kebebasan untuk membentuk serikat buruh yang independen secara efektif ditekan; pendidikan, kesehatan dan hak-hak sosial-ekonomi lainnya juga memburuk secara signifikan. Di bawahkepemimpinan Dewan RevolusiJenderal Ne Win, dan kemudian BSPP (Partai Program Sosialis Burma), para pekerja di Burma menghadapi berbagai bentuk penindasan dan eksploitasi, termasuk upah rendah, kondisi hidup yang buruk dan kurangnya keamanan pribadi.

Pada bulan Juni 1974, buruh kereta api di Burma mengadakan pemogokan yang kemudian memuncak menjadi pemogokan pekerja nasional. Pemogokan menyebabkan semua administrasi pemerintahan dan operasi pekerjaan umum berhenti. Para buruh menuntut gaji yang lebih tinggi, penurunan harga kebutuhan dasar, kebebasan untuk membentuk serikat buruh yang independen, dan tunjangan untuk keluarga mereka. Pemerintah menolak tuntutan mereka, dan pemogokan pekerja secara efektif dihancurkan. Banyak pekerja ditembak mati di dalam pabrik-pabrik dan di  jalan-jalan; yang lain ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara jangka panjang, dipecat dari pekerjaan mereka, dipindahkan ke kota lain, atau dipaksa untuk pensiun dini.

Selama demonstrasi nasional tahun 1988 di Burma, banyak pekerja pemerintahan yang bergabung bersama gerakan mahasiwa untuk demokrasi dan hak asasi manusia di jalan-jalan Kota Rangoon dan kota-kota lain. Demonstrasi dengan cepat mendapatkan momentum dan akhirnya menjadi pemberontakan terbesar dalam sejarah Burma modern. Pemerintah dengan sistem satu-partai yang dipimpin oleh Jenderal Ne Win menghadapi krisis politik yang serius, dan, sekali lagi, administrasi pemerintah menjadi terhenti akibat pemogokan umum. Selama demonstrasi, segudang organisasi independen, termasuk serikat buruh, bermunculan di seluruh negeri. Namun, setelah kudeta militer pada tanggal 18 September, semua organisasi independen dan serikat buruh dilarang. Banyak buruh yang berpartisipasi dalam demonstrasi diberi hukuman penjara jangka panjang, diberhentikan dari pekerjaan mereka, dipindahkan ke lokasi lain, atau dipaksa untuk pensiun dini.

Meskipun ada beberapa upaya yang dilakukan oleh aktivis hak buruh dan pengacara hak-hak buruh untuk membantu untuk mendaftarkan serikat buruh yang independen, tapi aplikasi tersebut selalu ditolak oleh rezim. Pada tanggal 23 Juni 2010, rezim Burma menolak kembaliaplikasi untuk membentuk sebuah "Serikat Pekerja Nasional Burma". Dengan tidak adanya serikat buruh yang independen dan saluran-lain seperti pers bebas - untuk mengungkapkan keluhan mereka, para pekerja di Burma tetap dieksploitasi oleh pemilik pabrik lokal dan asing, dan mereka tidak memiliki sarana untuk menuntut kehilangan hak-hak pekerja, gaji yang cukup, kondisi kerja yang layak dan keamanan pribadi.

Oleh karena itu, kami organisasi-organisasi  dan partai politik di bawah ini menyatakan solidaritas kami terhadap perjuangan kelas pekerja di Burma dan dengan ini menuntut:

1.       Dihapuskannya Peraturan baru yang menghalangi pemenuhan hak-hak buruh

2.       Setiap bentuk penindasan pekerja oleh pemilik pabrik atau instansi pemerintah harus ditolak

3.       Hak-hak demokratis yang penuh untuk kelas buruh termasuk hak untuk mengatur dan membangun serikat buruh independen dan membentuk partai politik.

Kami menyatakan dukungan kami sepenuhnya untuk Rakyat Burma untuk membangun Burma yang demokratis, karena hanya dengan Burma yang demokratis kemakmuran dan keadilan dapat dicapai.

Kelas buruh sedunia bersatulah!

(Statement ini diinisasi oleh Perhimpunan Rakyat Pekerja (Indonesia) dan Network of Progressive Youth Burma, jika organisasi anda ingin menandatangani silahkan hubungi: international@prp-indonesia.org)

Ditandatangani oleh:

Perhimpunan Rakyat Pekerja (Indonesia)

Network of Progressive Youth Burma

Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia

All Nepal Federation of Trade Unions

Parti Sosialis Malaysia

Socialist Alternative (Australia)

Socialist Alliance (Australia)

MAP Foundation (Thailand)

Partido ng Manggagawa (Philippines)