Thailand: Aksi Protes Kaos Merah Marak Kembali

Rabu, 8 September 2010

Oleh Peter Boyle

Berdikari Online – Pada 4 September lalu, sekitar 20.000 pendukung Kaos Merah berkumpul dalam sebuah konser di Pattaya, kota pariwisata Thailand yang terletak di tepi laut. Mobilisasi ini salah satu yang terbesar sejak militer dengan berdarah membubarkan perkemahan protes mereka di Bangkok pada 19 Mei 2010, menewaskan 91 orang dan melukai ribuan lainnya.

Pemimpin Kaos Merah dan Anggota Parlemen dari Partai Puea Thai, Jatuporn Prompan, menyerukan kepada rakyat untuk meletakkan mawar merah di depan seluruh penjara di negeri itu pada 17 September nanti. Ratusan pimpinan dan aktivis Kaos Merah masih ditahan. Pada 18-19 September, akan digelar aksi-aksi massa di penjuru negeri dan di luar negeri untuk menandai empat bulan sejak pembantaian berdarah.

“Hari ini adalah awal kampanye kita untuk membuka pintu penjara dan membebaskan saudara-saudara Kaos Merah kita”, seru Jutaporn dalam konser tersebut.

Jutaporn menyangkal anggapan bahwa Kaos Merah menghentikan perlawanannya atas nama “rekonsiliasi”. Tidak akan ada rekonsiliasi tanpa keadilan, katanya. “Kami butuh keadilan bagi mereka yang tewas dan keadilan bagi mereka yang masih hidup, tapi saat ini para pembunuh masih bebas. Para pembunuh justru mendapat kenaikan pangkat sementara korban-korbannya dibunuh atau dipenjara. Kami tidak dapat menerima nasion seperti ini.”

Jutaporn mengatakan bahwa pemerintah telah menuduhnya menolak rekonsiliasi, “menyodorkan kakinya” ketika ditawari “berjabat-tangan”. Tapi bagaimana bisa rekonsiliasi, tanyanya, bila pemerintah “terlebih dulu menyodorkan kakinya dengan memberikan kami peluru?”

Salah seorang peserta aksi di Pattaya, “Gunn” (bukan nama asli karena alasan keamanan) mengirimkan foto aksi “mati” yang diorganisir sehari setelahnya oleh kelompok “Minggu Merah” melibatkan seorang aktivis vokal Sombat Boonngamanong, yang telah berkali-kali melanggar peraturan darurat yang melarang protes.

Dalam aksi 5 September di pantai, Sombat menggelar permainan dan teater jalanan di pantai dan kemudian melakukan pembersihan pantai besar-besaran. Sebanyak 1000 orang berpartisipasi. Sekelompok polisi yang berjumlah 10 personil muncul di akhir acara namun hanya berdiri tak melakukan apa-apa.

Pada 21 Mei, Sombat dan kawan-kawannya mengorganisir kumpul-kumpul di sebuah taman di Jalan Lat Phrao, Bangkok, dengan memamerkan foto-foto para demonstran yang tewas serta menggelar pertunjukan kecil. Sejumlah besar polisi bersenjata datang dan membubarkan mereka. Pada 26 Juni, Sombat ditahan ketika mengikatkan pita merah besar di persimpangan Ratchaprasong untuk memperingati mereka yang terbunuh oleh militer di wilayah itu pada 19 Mei.

Pada 11 Juli, hanya dua hari setelah dibebaskan dari tahanan, Sombat mengulangi aksi protes pita merahnya pada sebuah rambu di persimpangan Ratchaprasong bersama ratusan pendukungnya. Beberapa protestan mencat tangannya dengan warna merah dan berbaring di tanah di samping poster bertuliskan: “Rakyat mati di sini”.

Pada 7 Agustus, Sombat menggelar protes simbolis lainnya dengan mengikatkan spanduk merah pada Menara Jam Kota di provinsi Chiang Rai untuk mengutuk kesewenang-wenangan aparat terhadap lima mahasiswa yang sebelumnya memprotes keadaan darurat di Chiang Rai. Sebagaimana dilaporkan oleh “Nation”, satu dari lima mahasiswa tersebut baru berumur 16 tahun. Ia dipaksa oleh pihak berwenang untuk menjalani pemeriksaan di rumah sakit jiwa.

Sejak itu, kelompok Minggu Merah mengorganisir sejumlah aksi simbolik lainnya, termasuk olah-raga rutin dan massal yang melibatkan para pendukung kaos-merah, kompetisi menari, aksi berpura-pura mati dan berupaya mendobrak sensor terhadap internet yang diterapkan oleh pemerintahan Thai.

“Ini kedelapan kalinya saya aksi protes dengan Khun Sombat”, jelas Gunn bangga kepada koran pergerakan Australia, “Green Left Weekly”. “Beberapa kaos merah tidak merasa aman untuk keluar rumah dan memilih untuk “menanti dan melihat”. Tapi kelompok kami tidak menanti. Tidak ada taktik baku dalam memperjuangkan demokrasi… Taktik kelompok kami saat ini adalah mengorganisir aksi-aksi simbolis dalam bentuk hal-hal yang biasa dilakukan orang, seperti berolah-raga atau pergi ke pantai,” jelas Gunn. “Dengan begini pemerintah tidak dapat menuduh kami melakukan kegiatan ilegal.”

“Selama dua minggu terakhir Khun Sombat berada di Chiang Mai untuk melakukan aktivitas bersama dengan kaum Kaos Merah lokal. Kebanyakan kaum Kaos Merah pada mulanya memperjuangkan demokrasi karena suara mereka yang memilih mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra dibatalkan oleh kaum militer [yang mengangkat pemerintahan saat ini yang dipimpin oleh PM Abhisit Vejjajiva]. Tapi kini mereka berjuang untuk alasan yang lebih banyak! Mereka berjuang melawan kekuasaan lama yang berkuasa di Thailand selama bertahun-tahun lamanya. Mereka berjuang untuk para korban yang tewas dalam perjuangan demokrasi.”

Mereka yang tergabung dalam kelompok Minggu Merah bukanlah pion-pion Thaksin, kata Gunn. “Kami memiliki komitmen di antara kami untuk tujuan yang lebih besar, demokrasi, dan komitmen ini memerintahkan kami untuk terus melawan.”

Rejim Abhisit telah mulai mengadili beberapa pimpinan Kaos Merah atas tuduhan melakukan aksi teroris, mendalangi kerusuhan dan menggelar perkumpulan ilegal. Lainnya berada di tahanan dan sebagian masih tidak dibolehkan menemui pengacara.

Sombat berjanji akan mengumpulkan kaum Kaos Merah lainnya untuk mengunjungi aktivis Kaos Merah lain yang ditahan namun kurang dikenal. Sombat meragukan keseriusan Masyarakat Hukum Thailand dalam membantu para Kaos Merah, karena perkumpulan itu punya sejarah yang bias terhadap Kaos Merah.

Keadaan darurat yang diumumkan pada bulan Mei masih berlaku di Bangkok dan enam provinsi lainnya. Di wilayah pariwisata yang terpopuler, peraturan tersebut telah dicabut.

Peter Boyle adalah convenor nasional Socialist Alliance of Australia.

[Diterjemahkan dari Links International Journal of Socialist Renewal (http://links.org.au/node/1884)]